Menikah itu bagi saya…

Tujuh bulan berlalu dari tulisan terakhir saya di blog ini. Lucunya tulisan itu bicara soal obsesi saya untuk lanjut sekolah di negeri kincir, tapi hari ini (saat tulisan ini dibuat) ternyata saya tertakdir untuk tetap menapak di tanah air. Dan yang menarik adalah dengan status yang sudah berganti. Menyoal itu, hatur nuhun untuk A’ Reza Primawan Hudrita yang sudah membuat titel saya berganti jadi ‘Mrs.‘. Hehe..

Hari ini hari ke-44 pernikahan kami. Hmm, lalu adakah yang spesial dari angka 44? Tidak ada, hehe. Hanya saja mood menulisnya baru muncul kembali tepat di hari ini :p

Awal tahun 2016 ini, saya sama sekali tidak terpikir kalau saya bisa menikah secepat ini. Bukan tidak mempersiapkan diri untuk menikah. Akan tetapi, yang terjadi benar-benar di luar ekspektasi. Pada saat itu, pikiran saya dipenuhi oleh mimpi melanjutkan S2 di universitas impian di negeri kincir.

Adapun soal menikah ini, waktu itu saya masih ciut, and didn’t have enough confident. Merasa masih payah. Rasanya malu sama calon suami (dan calon anak hehe). Dan rasa-rasanya masih ingin membuat Mama bahagia karena Mama sangat mendukung saya untuk lanjut S2.

Sampai suatu saat, dalam momen yang singkat, hati saya luluh karena nasihat seorang teteh:

Nis, kalau nisa bisa jadi istri dan ibu yang sholihah, itu juga bisa membahagiakan mama. Akan jadi tabungan pahala juga untuk mama karena anaknya bisa menjadi istri dan ibu yang baik.

Ah, betul, mengapa saya mengkotak-kotakkan soal membahagiakan orang tua. Karena bahkan setelah menikah, membahagiakan orang tua tetap menjadi kewajiban seorang anak.

Malam itu, saat saya membaca nasihat tersebut, adalah kali ketiga saya diminta untuk menyerahkan proposal pernikahan kepada teteh yang menjadi perantara bertemunya saya dengan A Reza. Kali-kali sebelumnya saya selalu menunda-nunda memberikannya karena alasan belum siap. Tapi entah mengapa hari itu saya luluh dengan nasihat itu. Saya pikir, memang tidak ada alasan kuat untuk tidak siap atau tidak maju. Toh, sekolah pasca belum pasti. Juga bukan berarti tak bisa berkarya atau bekerja. Sedang bersegera menikah saat telah mampu (bersegera beda dengan terburu-buru) adalah anjuran-Nya. Lagipula hidup itu pararel. Kata siapa menikah menghalangi itu semua. Memikirkan biaya? Setelah melalui prosesnya, saya mengalami betul, bahwa menikah bukan cuma soal uang.

 

Teteh berkata bahwa ada seorang laki-laki yang ingin dibantu proses mencari jodohnya, dan teteh merasa profilnya cocok dengan saya. Kalau saya merasa siap, akan coba ‘dikenalkan’ tapi kalau saya belum siap maka proposal beliau akan diajukan ke perempuan lain yang sudah siap menikah. Setelah istikharah, akhirnya saya maju dengan proposal yang saya revisi dalam semalam. Tanpa tahu (atau berusaha mencari tahu) tentang siapa laki-laki yang akan dijodohkan dengan saya. Soal ini, saya lebih nyaman dengan prinsip ‘yang penting bagaimana’ ketimbang ‘dengan siapanya’. Bukan berarti ‘siapanya’ tidak dipikirkan, tapi yang pasti saya tidak mau definitif dulu, yang jelas saya harus merasa siap dulu. “Iya, saya serius mau menikah!” baru setelah itu menjalani proses untuk mendapatkan ‘siapanya’. Ini yang saya pelajari dari buku-buku Ust. Salim A. Fillah. Saya pribadi sering khawatir niat saya untuk menikah tidak lurus (tidak ikhlas karena Allah). Bagi saya, menyerahkan soal ‘siapanya’ sepenuhnya kepada Allah, sangat membantu menjaga niat saya. Islam memang tidak melarang untuk menunjukkan langsung keinginan untuk menikahi seseorang (misalnya, langsung tembak calonnya) selama caranya benar dan berniat segera menikahinya. Saya memilih cara ini karena saya merasa lebih tenang dan nyaman.

 

Dulu sekali waktu SMA, saya pernah punya keinginan menikah dengan sesama alumni SMAN 1 Bogor haha. Karena merasa mungkin lebih nyaman dengan orang yang sepola pemikiran. Saya yang sekarang ini sebagian besar terbentuk saat masa SMA. Tapi saat memutuskan untuk menikah kemarin, saya pasrah saja. Bagi saya siapapun tak masalah. Bahkan saya sempat berpikir mungkin seru juga kalau ternyata saya belum kenal sama calonnya. Soal suka atau cinta, namanya terus bersama-sama setiap hari, nanti juga timbul sendiri. Qadarullah, ternyata calonnya berada di antara kedua hal tersebut. A Reza alumni Smansa, saya sudah kenal beliau sejak saya masih SMA, tapi ya istilahnya ‘ga kenal-kenal banget gitu’ hehe. Karena waktu SMA pun sebenarnya kami tidak bertemu di masa sekolah. Saya masuk SMA di tahun beliau lulus SMA. Tapi kami pernah bertemu di acara LDK OSIS saat saya menjadi panitia LDK tersebut (beliau dulu anak OSIS juga).

Berikutnya, alhamdulillah proses berjalan sebagaimana mestinya. Soal calon suami, saya cukup membuat kriteria (insya Allah yang mencakup urusan dunia dan akhirat). Saya berjanji dengan diri saya, bahwa saat calon yang diajukan kepada saya sudah memenuhi kriteria itu, soal bibit bobot bebet lainnya bisa dikesampingkan terlebih dahulu. Orang bilang perlu cari ‘gretek’ nya, setidaknya cari hal yang membuat kita tertarik dengannya. Alhamdulillah, buat saya A Reza lebih dari kriteria yang saya tentukan, dan satu hal itu saja sudah jadi ketertarikan sendiri bagi saya. Jadi, tidak ada alasan bagi saya untuk menolak (ihiy~ awas Aa jangan senyum-senyum sendiri ya kalau baca hihi).

Soal waktu menikah, saya sampaikan ke keluarga bahwa saya tak mau menunggu lama. Saya berkali-kali bilang kepada keluarga, yang sederhana pun tak apa, bahkan akad saja pun cukup. Tapi orang tua memang punya keinginan khusus karena ingin menghormati tamu. Ya, tak ada salahnya menghormati kebiasaan setempat. Bagaimana pun, di negara ini, pernikahan bukan hajatnya anak saja tapi juga orang tua. Soal lokasi misalnya. Ibu saya punya keinginan diadakan di gedung tertentu. Ajaibnya, saya bisa mendapatkan gedung itu di H-3 bulan karena ada satu calon pengantin yang undur diri di satu tanggal. Maka tanpa pikir panjang saya ambil tanggal tersebut. Semua ini tentu karena Allah yang mudahkan.

Hanya butuh dua pertemuan sebelum akhirnya sampai di acara khitbah. Khitbah pun sederhana saja, pagi hari saat sedang shaum Ramadhan, tidak sampai dua jam, tanpa konsumsi (singkat bin hemat hihi).

Setelah melalui semua prosesnya, saya semakin percaya bahwa menikah itu memang perkara aqidah. Itu soal kapan Allah menakdirkan kita bertemu dengan penggenap separuh agama kita. Selain apa yang saya alami, saya juga banyak mendengar cerita soal ini dari para sahabat. Kalau tidak berjodoh, upaya apapun tak akan membuatnya jadi. Ada lagi kisah yang menanti cukup lama (meski awalnya tak berniat seperti itu), dan saya hampir berpikir mungkin bukan jodohnya, tapi ternyata pada akhirnya berjodoh.

Menyoal ini juga bisa jadi ujian. Ada yang diuji saat sudah merasa siap tapi tak kunjung diketemukan. Ada yang diuji saat merasa belum siap dan ingin menunda tapi kemudian Allah tunjukkan ‘inilah saatnya’.

Bagi saya menikah itu soal memenuhi panggilan Allah. Karena bagi seorang muslim menikah adalah salah satu ibadah skala besar, peluang yang lebih banyak untuk mendapat pahala dan kebaikan dalam rangka menggapai ridha-Nya, salah satu upaya untuk lebih menjaga diri.

Akhir kata, semoga pernikahan saya dan A Reza menjadi sarana bagi kami berdua agar kelak menjadi muslim yang lebih bertakwa. Aamiin yaa Rabb…

“And those who say, ‘Our Lord! Bestow on us from our spouses and our offspring the coolness of our eyes and make us leaders for the Muttaqun.” (Al-Furqan, 25: 74)

H-6

Berangkat dari pemahaman yang menghujam dalam tentang pentingnya memiliki cita-cita tinggi sebagai seorang muslim, dalam dua tahun terakhir, saya digelayuti oleh suatu obsesi.

Obsesi yang pada akhirnya membuat saya berani mencoba suatu hal yang berada di luar bayangan saya pada awalnya. Saya berkali-kali menekankan pada diri, untuk selalu jujur tentang mimpi. Dan saya berkali-kali bertanya pada diri, “Apakah kamu sudah jujur?”

Dan pada akhirnya selalu kembali kepada titik dimana saya hanya bisa mengucap lirih, “Hanya Engkau yang tahu dan bisa menilai, yaa Rabb..”

Ada kalanya kita merasa benar, tapi ternyata tidak. Ada kalanya kita merasa jalan ini yang terbaik, tapi ternyata tidak.

“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216)

Sedangkan saya tidak mengetahui. Sedangkan saya tidak mengetahui. Sedangkan saya benar-benar tidak mengetahui. Sejak awal sudah menekankan dalam diri.. ‘Mari kita ikhtiar, tapi kalau tidak diizinkan Allah, ya sudah ya.. Berhenti sejenak dan merenung lagi.. Apakah itu jalan yang tepat? Karena banyak jalan menuju Roma kan?’

Karena itu belakangan ini, doa saya adalah… 6 hari lagi dapat jawaban. Tentang apakah Allah izinkan, apakah benar itu jalan terbaik.

Di 6 hari lagi yaa Rabb, jika terjawab ‘iya’, hamba anggap Engkau menganggapku mampu.. Jika ‘tidak’, berarti memang Engkau tak izinkan.. Dan telah Kau sediakan jalan lain yang lebih baik untuk hamba tapaki..

.

Hhh.. memang dasar menguras emosi. LPDP yah, Lelah Perasaan Dengan Penantian ini….. 10 Maret cepatlah dataaang! xD

Resolusi

Ternyata memulai memang sulit. Heuheu.

Di sekitar akhir Januari lalu sempat membuat resolusi soal tulis-menulis ini. “Pokoknya tahun ini harus aktif menulis lagi! Minimal 1 tulisan di setiap kategori yang telah ditentukan setiap bulannya,” gumam saya dalam hati. Tetot. Baru jalan satu bulan sudah dilanggar. Hiks..

Karena ternyata bulan lalu adalah bulan yang cukup.. hmm.. menguras emosi? Dan sponsor utama tentang kemengurasemosian (?) itu adalah ini. Nanti-nanti saya cerita ya soal itu. Hehe.. Oke, kalau begitu anggaplah untuk bulan Februari kemarin saya masih punya hutang.  Jadi, bulan Maret 2016 ini harus ada minimal dua tulisan di tiap kategori yang sudah ditentukan.

Sedih dan menyesal waktu menyadari dua tahun terakhir niat menulisnya luar biasa minim. Jadi merasa ada banyak hal dan momen yang ‘menguap’ begitu saja. Banyak malasnya, banyak ragunya, banyak menundanya, dan banyak tidak percaya dirinya juga. Hehe..

Setahun lalu mungkin terlalu banyak merenung sendiri. Karena ternyata hidup ini tak semudah yang dikira.. kau harus berlari mengejarnyaaa~ (lah malah nyanyi). Hehe.. Iya benar, ternyata setelah melihat banyak hal (sebagai orang dewasa muda baru #beuh), memang benar betapa ajaibnya hidup ini, betapa beragamnya manusia di luar sana. Saking terheran-herannya, jadi asyik merenung sendiri, padahal banyak ibrah yang bisa dibagi.

Oleh karenanya, di tahun ini saya punya cita-cita untuk lebih rapi dalam dokumentasi segala hal yang sudah dipelajari, dialami, dan direnungi. Dengan harapan hal itu akan memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Bismillah lagi yaa.. 🙂

Kekalahan

Terkadang yang tersulit adalah untuk berhenti.. -dibaca di suatu post di facebook

Seindah-indahnya dunia, biarlah ia jadi latar saja. Akhirat tetap tujuan kita. -Salim A Fillah

Bahkan kekalahan di kompetisi tingkat dunia tak bisa menandingi kekalahan dalam melawan diri sendiri. Tak usahlah salahkan ‘mereka’ yang membisik dan menggoda. Kadang tak perlu itu, manusia sudah asyik sendiri dalam ‘gelimang’ khilaf.

When I Talk About Self Confidence…

Kemarin-kemarin saya banyak banget ragunya (plus maunya). Pilih-pilih, pikir-pikir, atau mau dibilang terlalu idealis atau penakut? Sok mangga. Emang iya kayaknya.

Sampai-sampai khawatir, apa saya ga terlalu takut nyoba ya? Apa saya terlalu pilih-pilih ya?

Tapi ada nasihat yang sangat berharga dari teman yang alhamdulillah menyapa saya di aplikasi messenger beberapa minggu lalu.

“Kalau Nisop udah tau Nisop maunya dimana malah bagus Nisop. Jadi, Nisop bisa milih pekerjaan mana yang sesuai sama keinginan Nisop..” (Fitria Nurjannah, Nutritionist WRP Nutrifood)

Ah.. Itu benar. Sebagai fresh graduate terkadang kita terlalu banyak takut. Takut saat panggilan tak kunjung datang. Akhirnya memilih ‘mencoba segala peluang’. Apakah salah dengan itu? Tidak. Karena setiap sarjana baru butuh untuk produktif dan mencukupi kehidupannya segera. Tapi kemudian saat kita memilih sabar, memilih menunggu untuk dapat menapaki jenjang karir yang sudah direncanakan, tidak salah juga. Banyak hal lain yang bisa sembari dilakukan selama menunggu.

Alhamdulillah.. Selama sebulan ini saya bergumam dalam hati kalau saya ingin begini dan begitu karena ini dan itu. Berusaha sebisa mungkin untuk jujur dalam mimpi. Berusaha meluruskan niat (yang saya yakin masih sering berbelok). Dan minta ditunjukkan tempat terbaik yang sesuai dengan ‘standar’ saya (ah, soal ini juga jadi pikiran.. pakaian, tampilan, lingkungan, dll.. tuh kan banyak maunya).

Kemarin ada kabar, dan bagaimanapun juga ini salah satu tabir yang Allah buka. Walaupun saya belum tahu pasti apakah memang di sana tempat yang tepat. Dari berbagai kriteria yang saya inginkan, nyaris semuanya cocok.

Tapi saat sudah begini… Ada lagi yang ‘nabrak’ saya. Percaya diri. Heheu.

Begitu lihat apa saja tanggung jawabnya, wow. Bisakah saya? Bisakah saya meyakinkan kalau saya pantas untuk itu?

.

Yaa Rabb.. Berikan hamba-Mu ini sepercik kekuatan-Mu.. Saya benar-benar ingin belajar dengan baik di tempat itu..

Thanks for this opportunity, Rabbi..

Bismillah untuk hari Senin.. :)

Bismillah untuk hari Senin.. 🙂

Hampir Setahun

Ada banyak jawaban dan pertanyaan tambahan yang datang ke benak saya selama hampir setahun ini. Tentang pantas tak pantas, yang berhak dan tidak berhak, dan yang tertakdir dan tidak tertakdir.

Memang benar ya, pertama, ini semua takdirnya Allah. Saya di sini, dia di sana, atau kamu di sisi lain. Terlepas dari segala ikhtiar yang telah dilakukan, ada ketetapan Allah yang tidak bisa terelakkan.

Kedua, tentang bukan jadi jaminan kita akan masuk ke syurga. Amal pribadi tetap jadi ukuran utama, dan sekali lagi ketetapan Allah tetap menjadi penentunya.

Ketiga, meski bukan jadi jaminan masuk ke syurga, sepantasnya ada rasa syukur dalam hati, bahwasanya Allah mengizinkan kita membersamai orang-orang baik. Mengizinkan kita untuk menikmati indahnya berjamaah.

Keempat, kembali lagi, sebaik-baiknya berjamaah bukan berarti merasa aman dan cukup. Masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki dan dikembangkan. Bahkan seharusnya, semua itu bisa menambah semangat dalam meningkatkan kapasitas diri.

.

Hampir setahun ini saya jadi berefleksi dengan satu pertanyaan utama yang terus-menerus bergelayut di benak saya :

“Apa perubahan signifikan yang sudah kamu buat? Baik untuk dirimu dan dakwah ini..”

Re-post : Kenapa dan Ada Apa dengan Letto?

*Tulisan yang judulnya di awali kata ‘Re-post:’ adalah tulisan yang saya salin dari blog lama saya 🙂

Tulisan Toto Rahardjo, Pendiri Kiai Kanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya
..sebuah pengantar untuk buku kecil suvenir pernikahan vokalis Letto, Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe. -Maret 2009

Saya curiga lirik-liriknya
Saya tahu bahwa kebanyakan orang menangkap lirik-lirik Sabrang yang ada di tiga album Letto lebih kental berbincang tema-tema percintaan antara laki-laki dan perempuan, dan tak salah juga mereka menangkap seperti itu. Sabrang memberikan area pemaknaan bagi siapapun dan apapun maknanya.

Ruang Rindu menurut saya merupakan ekspresi Sabrang yang sangat nirbatas, sangat intim dan sangat privat terhadap Sang Pencipta. Lalu Allah merupakan sandaran dalam setiap wilayah kehidupan, tarikan detak segala jenis sukma – itulah Sandaran Hati. Beberapa saat kemudian, banyak orang baru ngeh, baru menyadari bahwa lirik-lirik Sabrang bukan hanya sekedar berbicara cinta mabuk kepayang antara perempuan dan laki-laki. Ada pemahaman lebih luas bahwa lirik-lirik Sabrang sangat spiritual, bagaikan melakukan Sholat malam. Itu bisa dirasakan pada lagu Sebelum Cahaya. Padahal bisa jadi lagu ini merupakan persembahan Sabrang untuk Bapaknya yang senantiasa selama ini hingga sekarang melakukan perjalanan sunyi. Ada kenyataan kerapuhan di hati manusia, yang oleh Sabrang digambarkan dengan lubang-lubang, siapapun menerjemahkan keterlubangan dan berusaha mengisinya. Ada yang berupaya menutup dengan cinta, ada yang menutupinya dengan harta dan status sosial. Tak hanya itu, lirik lagu ini berindikasi muatan sufistik, tercermin dalam ungkapan “Apakah itu Kamu?”, “Apakah itu Dia?”.

Dalam khasanah kearifan, kata kamu dan dia sama dengan Kamu dan Dia dengan awalan huruf besar, demkian sedikit persepsi Lubang di Hati. Lalu Kepada Hati Itu, siapa sangka di balik lirik lagi ini ternyata terkandung keluhan Iblis soal kegagalannya dalam upaya melemahkan hati manusia yang tengah berpuasa. Puasa dalam pengertian mengendalikan hawa nafsu, puasa dalam pemahaman mengendalikan kuasa dan angkara murka. Tapi sekali lagi segala rahasia kebenarannya kembali pada Sabrang sendiri.

Saya tersenyum ketika mendengar sejumlah kalangan menduga, bahkan meyakini, bahwa pada syair-syair Sabrang ada campur tangan Bapaknya. Bahkan ada yang sangat teguh meyakini (menuduh) bahwa semua itu tak lain adalah karya Bapaknya. Tidak kebetulan saya adalah teman Bapaknya itu lebih dari 30 tahun dalam berbagai keterlibatan: pergaulan kemanusiaan, urusan sastra, teater, kebudayaan, bahkan kemasyarakatan dan politik. Saya ingin percaya pada tuduhan itu, tetapi apa yang saya alami dan saya ketahui selalu tidak mengizinkan saya untuk percaya. Paling tidak ada tiga hal yang saya mengerti persis.

Pertama, Emha dan Novia bertahun-tahun sangat menahan diri untuk tidak mendekat ke setiap kesibukan kreatif Letto meskipun mereka serumah dan sestudio. Novia dan Emha punya kenikmatan untuk bersabar, menahan diri, sampai pada suatu hari membeli CD Letto di toko kemudian mendengarkannya di mobil atau di kamar sebagai konsumen murni dan sepenuhnya.

Kedua, menurut penilaian saya Bapaknya Sabrang malah bukan murni penyair. Puisi-puisinya terlalu sosial dan transparan, bahkan keras. Sedangkan Sabrang sangat lembut, halus, sebagaimana watak hidupnya yang selalu sangat menahan diri, demikianlah juga puisi-puisinya. Menurut taste saya karya Noe “lebih puisi” dibanding karya Bapaknya.

Ketiga, ada fakta yang lucu: tidak satu pun karya Noe dan Letto dicampuri oleh siapapun apalagi Bapaknya, sementara sejumlah lirik lagu KiaiKanjeng malah dimintakan kepada Noe untuk menuliskannya. Suatu ketika saya menyaksikan Sabrang diwawancarai wartawan soal tuduhan keterlibatan Bapaknya dalam karya-karya dia, Sabrang menjawab secara cerdas, “sebetulnya Anda telah menghina dua orang sekaligus; yang pertama Anda telah menghina ayah saya dan yang kedua Anda telah mengina saya …… “

Letto. Pertama kali kenal grup band ini waktu SMP dulu. Karena Ayah sering memutar kasetnya di mobil ketika sedang berpergian. Awalnya saya pikir, ini grup band luar, soalnya artikulasi bahasa Inggrisnya bagus. Ternyata ada lagu yang berbahasa Indonesianya. Entah kenapa jatuh cinta. Awalnya hanya senang dengan nadanya. Saya memang suka dengan musik yang santai. Hehe.

Semakin saya tumbuh besar, semakin saya banyak membaca, semakin saya mengenal yang namanya permainan kalimat. Kok baru sadar ya, kalau liriknya itu tidak biasa! Yang jelas semenjak masuk SMA, saya makin mendalami -ceileh- lirik-liriknya. Apalagi setelah mendapatkan buku kecil itu, Maret 2009.

Kebetulan Ayah saya berteman dengan Bapaknya Sabrang, Emha Ainun Nadjib. Jadi itu loh yang bikin Ayah beli kasetnya. Hehe. Tapi saya yakin, Ayah saya juga sama seperti saya, memandang bahwa band ini emang beda. Waktu itu Sabrang menikah, dan saya diajak ke walimahannya. Lucu. Walimahannya lucu. Keluarga mereka memang unik. Pestanya merakyat. Merakyat sekali. Tapi yang paling penting buat saya adalah, buku kecil itu. Suvenir pernikahan. Isinya kumpulan liriknya Letto plus pengantarnya yang sebagian saya copy di atas itu. Jadi, saya semakin takjub dengan grup band itu.

Nirbatas. Itu yang saya sukai. Luas, maknanya luas dan dalam. Dan kenirbatasan itu saya rasa tidak bisa dibuat secara kebetulan. Sumur yang dalam mungkin bisa terlihat dangkal dari atas, tetapi kenyataan bahwa ia dalam bisa kita buktikan dengan menelusurinya masuk ke dalam sumur. Namun, sumur yang dangkal, selain terlihat dangkal dari luar, tetap saja dangkal ketika kita coba mengecek kedalamannya. Saya pikir seperti itu analoginya. Haha..

Memang lagunya banyak dijadikan soundtrack sinetron. Biarlah ada orang-orang yang menangkap maknanya secara dangkal. Tapi saya percaya, Sabrang memang berbakat menciptakan kalimat-kalimat dalam.

Terkait video klip nya. Hmm, memang kebanyakan lagunya digambarkan dengan sepasang kekasih pria wanita. Tetapi saya juga curiga -hehe- kalau itu juga hanya sekedar untuk membuatnya komersil. 🙂

Satu-satunya grup band Indonesia yang saya suka. Seriously! Hehe.. Eh, ngomong-ngomong, saya ini bukan penikmat musik sebenarnya. Saya gak terlalu sering dengerin lagu kok -dan ga updet sama dunia permusikkan kecuali band yang ini :P-. Mungkin lebih pantas dibilang, penikmat lirik.. Hoho.

Masih ga percaya dengan bakat Bang Sabrang? Cek sajak di bawah ini.. ^^ -bukan lagu, murni puisi hehe-

Paseduluran (It means Persaudaraan..)

oleh : Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto)

secara tinggi dalamnya lautan jauh lebih rendah daripada tingginya langit,
secara cahaya puncak malam lebih tak mempunyainya daripada terik siang,
secara luas sumurku tak ada apa-apanya dibandingkan membentangnya samudera,
sejak kapan itu menjadi ukuran?

yang tampak mata tak selalu bisa diraih,
yang tersembunyi di belakang kepala malah mudah untuk dipilih
yang bersuara keras kadang menggetarkan jiwa,
tapi justru yang lirih yang mampu menusuk sukma
mulut bersuara mampu mengatakan ribuan kata,
tapi justru diam yang mengandung sejuta makna
sejak kapan itu jadi perbandingan?

aku tak lebih tak kurang dari kamu
kamu tak lebih tak kurang dari dia
dan dia tak lebih tak kurang dari kita
sejak kapan lebih dan kurang menjadi perbincangan?

ke-Tanpa-an yang menumbuhkan ke-Ada-an
seperti kelebihan yang menumbuhkan kekurangan
tepi menumbuhkan batasan
seperti waktu yang melahirkan ruangan

dan aku adalah aku
kamu adalah kamu
aku adalah kamu, dan kamu adalah aku
maka hanyalah ada kita.

ketika ke-tanpa-an ada untuk disyukuri
ketika batasan tak berarti tepi
ketika lahir sebuah kebersamaan

maka…
Paseduluran ini adalah tanpa tepi.

-30 Desember 2011
Sedang ‘tergila-gila’ lagi sama Letto hehe
Jadi kangen Ayah 🙂

catatan kecil : Namun, tentu saja, kekaguman tetap punya batas. Tidak untuk semua hal, namun beberapa hal yang menyangkut kebaikan atau keunikan dari seorang insan. 🙂

Setelah Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”

“Oemar Said Tjokroaminoto menyadari bahwa umat Islam yang tertindas, diubah oleh penjajah menjadi seperti tertidur lelap kesadarannya. Tidak lagi menyadari bahwa dirinya memiliki tanah air, bangsa, dan agama yang terjajah. Pasrah tanpa minat untuk melepaskan dirinya dari penindasan yang tiada melelahkan gairah hidupnya. Umat Islam sebagai mayoritas, yang sedang kehilangan seorang pemimpin berani yang membangkitkan kesadarannya bahwa dirinya sedang tertindas dan terjajah.”

Dikutip dari buku “Api Sejarah” – Ahmad Mansur Suryanegara

..cerita dulu dan hari ini..

“Pada dasarnya, baik kami maupun umat kami, sama-sama beriman pada prinsip ini. Bedanya, keimanan mereka terbius dan tertidur lelap dalam jiwa mereka. Mereka tidak ingin menaati hukumnya dan melaksanakan tuntutannya. Sebaliknya, keimanan kami selalu bergelora, berkobar, kuat, dan hidup di dalam jiwa.”

Tentang Dua Keimanan dalam Majmu’atur Rasail Jilid 1 – HAB

..sedangkan kamu, dimana iman? bergelorakah? atau sebenarnya terbius dan terlelap tapi seakan-akan bangun?

Takziyah Cinta Kepada Mas Heru Yuwono (alm)

Lagi napak tilas, googling, lalu bertemu dengan tulisan lama..

Takziyah Cinta kepada Mas Heru Yuwono (alm)

Oleh : Emha Ainun Nadjib

1.

Sebagaimana manusia biasa sesungguhnya sampai hari ini hati saya belum bisa “menerima” dipanggilnya Mas Heru Yuwono oleh Yang Maha Memilikinya.

Ya Allah, Engkau panggil hamba-Mu, manusia setulus itu, dari tengah keadaan di mana besarnya kepalsuan manusia jauh lebih besar dari besarnya bumi.

Engkau panggil saudara kami yang se-mukhlis itu hati lembutnya, dari tengah masyarakat yang hilang kepribadiannya karena dipenuhi oleh kepercayaan yang berlebihan atas topeng-topeng.

Engkau panggil intelektual yang sesportif itu di dalam memandang kehidupan dan ummat manusia, dari tengah percaturan kaum cerdik pandai yang beramai-ramai mengendarai kereta-kereta kecurangan terhadap akal sehat.

Engkau panggil pejuang silaturahmi, kooperator kesejahteraan dan perajut kasih sayang yang berjiwa seluas samudera, dari tengah bangsa yang isi utama sejarahnya adalah perilaku penyempitan, pergerakan pendangkalan dan perjuangan individualisme.

Engkau panggil sahabat kami yang selalu menampung dan tidak menuntut siapapun untuk menampungnya, yang selalu santun tanpa menunggu kesantunan siapapun saja kepadanya, yang selalu menjadi ruang dan kami semua adalah kumpulan perabot-perabot yang selalu merepotkannya.

Engkau panggil hamba kiriman-Mu yang senantiasa memperlakukan kami lebih dari saudaranya sekandang dan sedarah, khalifah-Mu yang senantiasa memurahi kami dengan berbagai bentuk kasih sayang melebihi mereka yang sesungguhnya berkewajiban atas kami.

Engkau memanggil hamba-Mu, Bapak yang amat sangat dicintai, dipatuhi, dan dibanggakan oleh istri anak-anak dan seluruh keluarganya, oleh semua saudara dan sahabat-sahabatnya, oleh sanak famili dan masyarakat siapapun yang berkenalan dan merasakan kelembutan dan kesantunannya.

Engkau memanggil pejuang-Mu dan pejuang kami semua dari tengah keadaan sangat genting dari Negeri dan Bangsa kami sehingga sungguh-sungguh kami semua berada di puncak kebutuhan kami atasnya?

“Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Kutahu tak setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertahta”

2.

Ya Allah apa sesungguhnya maksud-Mu? Apa saja gerangan alasan, logika dan hikmah di balik iradah-Mu yang penuh keindahan langit namun memuat keperihan bumi?

Ya Allah betapa faqirnya jiwa kami, betapa rendahnya kesanggupan kami untuk mendayagunakan akal kami, betapa lemahnya kemampuan kami untuk mengendalikan hati kami, di hadapan rahasia iradah-Mu, di hadapan misteri kehendak-Mu, serta di kandungan luas tak terbatasnya cinta-Mu.

Ya Allah, jika kukatakan “tidak bisa terima kepergiannya”: itu semata-mata merupakan suatu bentuk tangis insaniyah dan kepatuhan uluhiyah yang perih bagi hati kemanusiaan kami. “Inna asyku batstsi wa huzni illa ilaika ya Rabbi”, sesungguhnya kamu mengeluhkan kesedihan dan duka derita ini tidak kepada siapapun selain Engkau wahai Maha Pengasuh kami.

Engkau Maha Mendengar hati kami semua serta Ibu Heru dan putra-putri mereka bahwa tangis kehilangan kami sama sekali bukanlah bentuk perlawanan kami kepada-Mu. Engkaulah juga yang menganugerahkan kekuatan bagi hati kami serta ketangguhan mental bagi perjuangan masa depan kami semua sepeninggal hamba-Mu yang sangat kami cintai itu.

Tentu saja kukejar hatiku sendiri dengan menungkapkan pernyataan Allah swt: “Barang siapa tidak mau menerima ketentuan-Ku hendaklah ia berpindah dari bumiku dan mencari Tuhan yang lain”.

Ya Allah Engkau Maha Mengetahui segala sesuatu yang kami nyatakan maupun yang kami sembunyikan, maka sesungguhnya tiadalah sesuatupun yang kami sembunyikan dari-Mu. Ya Allah Engkau mengarifi segala yang tersurat maupun yang tersirat, segala yang kasat mata dan yang tak kasat mata, segala yang terucapkan maupun yang tersimpan di dalam kebisuan, segala yang dimaksudkan maupun kandungan yang sejati di balik setiap yang kami maksudkan.

Ya Allah, adakah ucapan dari kefaqiran hamba-Mu yang tidak salah? Adakah kalimat, kata, huruf, bahkan setiap titik dari setiap huruf, dari kami semua yang hina dina ini yang tidak khilaf, yang memiliki ketepatan, yang sedikit saja mendekati garis kebenaran sejati yang berada di keharibaan-Mu?

Ya Allah sesungguhnya niscaya tiadalah satu huruf dari kata-kata kami, tiadalah satu kata dari kalimat-kalimat kami, tiadalah satu kalimat dari pembicaraan kami, tiadalah satu tetes dari deraian tangis kami, tiadalah satu satu debu dari setiap upaya kemakhlukan kami, yang memiliki kadar kebenaran yang memadai di hadapan agungnya kebenaran-Mu.

Ya Allah, kami semua tetap di sini, bersemayam di genggaman cinta-Mu, berpasrah diri di ujung jari kekuasaan-Mu, bersujud di bumi cinta-Mu kepada hamba-hamba-Mu dan di kekumuhan keringat upaya ibadah kami. Ya Allah kami berjalan hanya ketika Engkau perjalankan, kami melakukan apapun hanya karena Engkau memerintahkan kami untuk melakukannya, dan tak seserpihpun dari hidup dan mati kami yang kami relakan untuk siapapun selain Engkau.

3.

Ya Allah, tentulah kami ikhlas atas setiap terbitnya matahari-Mu di fajar pagi dan atas tenggelamnya ia di ufuk senja hari. Tentulah kami rebah pasrah mensyukuri bergoyangnya setiap helai rumput, jatuhnya setiap tetes embun, serta selalu munculnya secercah cahaya dari tengah kegelapan yang Engkau limpahkan untuk mengasah iman dan cinta kami.

Ya Allah namun bimbinglah kami bagaimana memaknai rasa kehilangan ini. Tuntunlah kami mengarifi dan menghikmahi kekagetan besar kami. Ajarilah kami sebagaimana Engkau langsung mengajari kakek moyang kami Adam ‘alaihissalam, “wa ‘allama Adama al-asma-a kullaha, tsumma ‘aradhahum ‘alal-Malaikah”.

Ya Allah di tengah riuhnya kebodohan dunia, di tengah gemuruhnya kehinaan para penghuninya, rebutlah kami semua keluarga almarhum Mas Heru Yuwono, saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya, tawanlah kami di penjara cinta-Mu, kurunglah kami di dalam tabung cahaya-Mu, hajarlah kami dengan ilmu dan kesabaran, cambukilah kami dengan hikmah dan rasa syukur, bariskan dan latihlah kami di laboratorium kecerdasan dan ilmu, serta tambahkanlah para Malaikat aparat-aparat-Mu untuk menjadi asisten-Mu di dalam menguji iman dan ilmu kami.

Ya Allah negeri kami sudah hancur, negara kami sudah dijajah oleh penghuninya sendiri dan diluluh-lantakkan oleh para penanggung-jawabnya sendiri, bangsa kami sudah melata-lata di dataran terendah dari kehinaan, bahkan lebih dari yang selama ini kami bayangkan tentang “asfala safilin”, masyarakat kami sudah menjadi lambang yang ideal bagi “ajhalul jahiliyah”, sebodoh-bodohnya kebodohan, yang mungkin tak pernah diimaginasikan oleh para Rasul dan tak pernah disangka oleh semua Nabi, sejak awal penciptaan hingga kelak Hari Kebangkitan yang Engkau tentukan.

Ya Allah Engkau Maha Lembut untuk mengerti bahwa kalimat-kalimat kami tentang Negeri kami itu bukanlah ungkapan hamba-hamba yang putus harapan. Engkau Maha Santun untuk mengetahui bahwa yang kami tegakkan adalah usaha kejujuran melihat diri kami sendiri serta upaya keberanian untuk mengakui apapun saja keadaan yang kami timpakan atas diri kami sendiri.

Ya Allah bagaimana mungkin kami akan pernah bisa berputus asa. Sedangkan Engkau menganugerahi kami semua limpahan kasih sayang yang tak Engkau berikan kepada hamba-hambaMu yang lain. Bagaimana mungkin kami akan pernah bisa berputus asa, sedangkan Engkau limpahi kami bangsa Nusantara ini dengan penggalan dari sorga-Mu sendiri, hamparan pulau terindah, terkaya dan paling penuh rahasia cinta-Mu.

Ya Allah bagaimana mungkin kami akan pernah bisa putus harapan, sedangkan Engkau letakkan kami untuk bersemayam di bagian yang paling mutiara dari bumi. Engkau nikahkan bangsa tercinta yang penuh bakat, kecerdasan rohani dan ketangguhan mental ini, dengan rahasia tanah tersubur, tetanaman paling ragam, ilmu gunung-gunung berapi dan samudera, yang masa depan seluruh dunia bagaikan sedang menjadi janin di kandungan perut Nusantara.

Ya Allah betapa bersyukurnya kami semua, dan masyaAllah: bersama mendiang Mas Heru Yuwono kami sedang berada di puncak rasa syukur itu, dan sedang menyelami bumi ilmu, lautan penelitian serta cakrawala kreativitas, demi cita-cita mewujudkan Negeri Nusantara ini menjadi “Negeri Rahmatan Lil’alamin” bagi kesejahteraan seluruh ummat manusia hamba-hambaMu di muka bumi – tatkala dengan tiba-tiba saja Engkau memanggilnya ke rumah abadi-Mu.

Betapa terkejutnya kami. Namun insyaallah kami tahu karena Mas Heru Yuwono adalah hamba-Mu yang terbaik di antara kami semua. Beliau sudah Engkau pandang lulus sebagai Syeikh Kehidupan, sebagai Sarjana Utama ilmu ajaran-Mu, serta sebagai Panembahan Mumpuni dari kearifan-Mu.

Sedangkan kami semua ini, entah apa akan pernah mencapai ketinggian maqamat yang dicapai oleh mendiang kekasih-Mu itu jika suatu hari Engkau memanggil kami. Namun sungguh kami berterima kasih bahwa Engkau masih memberi luang waktu bagi kami semua, juga keluarga beliau, untuk berjuang meningkatkan ilmu dan kasih sayang di dunia, serta untuk menabung kedekatan kepada-Mu semampu-mampu kami.

Yogyakarta 14 Desember 2010

 

Kadang pelajaran diberikan dalam banyak cara. Kadang teladan baru disadari setelah tiada.

Maybe our parents aren’t perfect. Sometimes we see them unfairly. Think that they mustn’t make any mistakes. Sometimes they just ‘hide’ some good facts or actions. And when you realize, you just feel so proud of them.. 🙂

*tulisan asli ada di tautan ini :

New Pages

Terbangun tengah malam setelah digempur vertigo dan ngilu badan. Heu. Alhamdulillah berkurang setelah terlelap sejenak. Nikmat tidur dari Allah manakah yang bisa saya dustakan?

Akhirnya kembali membuka dan menorehkan tinta di laman ini. Nah, blog yang lama (awanbiruannisasophia.blogspot.com)? Masih ada, tidak dihapus. Tapi cuma saya yang bisa lihat. Hehe. Dan sepertinya tidak akan lanjut menulis di sana.

Kenapa diprivatisasi? Bukan karena saya malu (walau saya sadar tulisan saya di sana apasih gitu haha), bukan. Bagaimana pun, kita bisa melihat sejauh mana kita berkembang lewat tulisan-tulisan lama. Kadang menengok kembali itu perlu, walau cuma untuk menertawakan diri sendiri. Kadang menengok kembali itu perlu, untuk menilai apakah saya masih semenye-menye dulu. Makanya saya tidak menghapus blog, hanya membatasi siapa yang bisa melihat.

Jadi, mengapa pindah lapak? Karena rasanya akan lebih segar menulis di kertas yang masih putih bersih. Karena saya ingin lebih mengorganisasikan tulisan-tulisan saya. Karena sekarang saya ingin menulis dalam rangka belajar, refleksi, berbagi manfaat, mengambil hikmah. That’s why i said that maybe this is a pensieve (to see the past to take a lesson), or a treasure box (to keep some valuable experiences, stories, knowledges, or lessons)..

Dan laman baru saya tidak cuma ini. Ada Tumblr (sebenarnya sudah cukup lama punya tumblr) yang mungkin bakal berisi tulisan yang lebih.. random? tanpa tema? Mungkin untuk re-blog banyak post bermanfaat (di tumblr banyak hal yang dikemas dengan cantik dan inspiratif). Hehe. Dan ada Medium (ini baru teramat baru). Medium itu baru saya kenal dan langsung membuat jatuh cinta! Insya Allah dibuat untuk belajar menulis dalam bahasa Inggris..

Yang membuat saya senang. Akun tumblr dan medium saya pakai nama asli tanpa embel-embel lain. Huehe. Karena biasanya nama annisasophia sudah ada yang menggunakan (bahkan email harus nambah angka ’21’)!

Yah, semoga dengan laman-laman baru ini saya benar-benar lebih konsisten menulis! Bismillah.. Mungkin nanti ada beberapa tulisan dari blog lama yang disalin di laman ini juga 🙂

Doakan aku ya! *tangan membentuk lambang peace, gaya Genteng Takeshi*
PS: Besok raker SINTESA 😀 Semoga dilancarkan!