Tujuh bulan berlalu dari tulisan terakhir saya di blog ini. Lucunya tulisan itu bicara soal obsesi saya untuk lanjut sekolah di negeri kincir, tapi hari ini (saat tulisan ini dibuat) ternyata saya tertakdir untuk tetap menapak di tanah air. Dan yang menarik adalah dengan status yang sudah berganti. Menyoal itu, hatur nuhun untuk A’ Reza Primawan Hudrita yang sudah membuat titel saya berganti jadi ‘Mrs.‘. Hehe..
Hari ini hari ke-44 pernikahan kami. Hmm, lalu adakah yang spesial dari angka 44? Tidak ada, hehe. Hanya saja mood menulisnya baru muncul kembali tepat di hari ini :p
Awal tahun 2016 ini, saya sama sekali tidak terpikir kalau saya bisa menikah secepat ini. Bukan tidak mempersiapkan diri untuk menikah. Akan tetapi, yang terjadi benar-benar di luar ekspektasi. Pada saat itu, pikiran saya dipenuhi oleh mimpi melanjutkan S2 di universitas impian di negeri kincir.
Adapun soal menikah ini, waktu itu saya masih ciut, and didn’t have enough confident. Merasa masih payah. Rasanya malu sama calon suami (dan calon anak hehe). Dan rasa-rasanya masih ingin membuat Mama bahagia karena Mama sangat mendukung saya untuk lanjut S2.
Sampai suatu saat, dalam momen yang singkat, hati saya luluh karena nasihat seorang teteh:
Nis, kalau nisa bisa jadi istri dan ibu yang sholihah, itu juga bisa membahagiakan mama. Akan jadi tabungan pahala juga untuk mama karena anaknya bisa menjadi istri dan ibu yang baik.
Ah, betul, mengapa saya mengkotak-kotakkan soal membahagiakan orang tua. Karena bahkan setelah menikah, membahagiakan orang tua tetap menjadi kewajiban seorang anak.
Malam itu, saat saya membaca nasihat tersebut, adalah kali ketiga saya diminta untuk menyerahkan proposal pernikahan kepada teteh yang menjadi perantara bertemunya saya dengan A Reza. Kali-kali sebelumnya saya selalu menunda-nunda memberikannya karena alasan belum siap. Tapi entah mengapa hari itu saya luluh dengan nasihat itu. Saya pikir, memang tidak ada alasan kuat untuk tidak siap atau tidak maju. Toh, sekolah pasca belum pasti. Juga bukan berarti tak bisa berkarya atau bekerja. Sedang bersegera menikah saat telah mampu (bersegera beda dengan terburu-buru) adalah anjuran-Nya. Lagipula hidup itu pararel. Kata siapa menikah menghalangi itu semua. Memikirkan biaya? Setelah melalui prosesnya, saya mengalami betul, bahwa menikah bukan cuma soal uang.
Teteh berkata bahwa ada seorang laki-laki yang ingin dibantu proses mencari jodohnya, dan teteh merasa profilnya cocok dengan saya. Kalau saya merasa siap, akan coba ‘dikenalkan’ tapi kalau saya belum siap maka proposal beliau akan diajukan ke perempuan lain yang sudah siap menikah. Setelah istikharah, akhirnya saya maju dengan proposal yang saya revisi dalam semalam. Tanpa tahu (atau berusaha mencari tahu) tentang siapa laki-laki yang akan dijodohkan dengan saya. Soal ini, saya lebih nyaman dengan prinsip ‘yang penting bagaimana’ ketimbang ‘dengan siapanya’. Bukan berarti ‘siapanya’ tidak dipikirkan, tapi yang pasti saya tidak mau definitif dulu, yang jelas saya harus merasa siap dulu. “Iya, saya serius mau menikah!” baru setelah itu menjalani proses untuk mendapatkan ‘siapanya’. Ini yang saya pelajari dari buku-buku Ust. Salim A. Fillah. Saya pribadi sering khawatir niat saya untuk menikah tidak lurus (tidak ikhlas karena Allah). Bagi saya, menyerahkan soal ‘siapanya’ sepenuhnya kepada Allah, sangat membantu menjaga niat saya. Islam memang tidak melarang untuk menunjukkan langsung keinginan untuk menikahi seseorang (misalnya, langsung tembak calonnya) selama caranya benar dan berniat segera menikahinya. Saya memilih cara ini karena saya merasa lebih tenang dan nyaman.
Dulu sekali waktu SMA, saya pernah punya keinginan menikah dengan sesama alumni SMAN 1 Bogor haha. Karena merasa mungkin lebih nyaman dengan orang yang sepola pemikiran. Saya yang sekarang ini sebagian besar terbentuk saat masa SMA. Tapi saat memutuskan untuk menikah kemarin, saya pasrah saja. Bagi saya siapapun tak masalah. Bahkan saya sempat berpikir mungkin seru juga kalau ternyata saya belum kenal sama calonnya. Soal suka atau cinta, namanya terus bersama-sama setiap hari, nanti juga timbul sendiri. Qadarullah, ternyata calonnya berada di antara kedua hal tersebut. A Reza alumni Smansa, saya sudah kenal beliau sejak saya masih SMA, tapi ya istilahnya ‘ga kenal-kenal banget gitu’ hehe. Karena waktu SMA pun sebenarnya kami tidak bertemu di masa sekolah. Saya masuk SMA di tahun beliau lulus SMA. Tapi kami pernah bertemu di acara LDK OSIS saat saya menjadi panitia LDK tersebut (beliau dulu anak OSIS juga).
Berikutnya, alhamdulillah proses berjalan sebagaimana mestinya. Soal calon suami, saya cukup membuat kriteria (insya Allah yang mencakup urusan dunia dan akhirat). Saya berjanji dengan diri saya, bahwa saat calon yang diajukan kepada saya sudah memenuhi kriteria itu, soal bibit bobot bebet lainnya bisa dikesampingkan terlebih dahulu. Orang bilang perlu cari ‘gretek’ nya, setidaknya cari hal yang membuat kita tertarik dengannya. Alhamdulillah, buat saya A Reza lebih dari kriteria yang saya tentukan, dan satu hal itu saja sudah jadi ketertarikan sendiri bagi saya. Jadi, tidak ada alasan bagi saya untuk menolak (ihiy~ awas Aa jangan senyum-senyum sendiri ya kalau baca hihi).
Soal waktu menikah, saya sampaikan ke keluarga bahwa saya tak mau menunggu lama. Saya berkali-kali bilang kepada keluarga, yang sederhana pun tak apa, bahkan akad saja pun cukup. Tapi orang tua memang punya keinginan khusus karena ingin menghormati tamu. Ya, tak ada salahnya menghormati kebiasaan setempat. Bagaimana pun, di negara ini, pernikahan bukan hajatnya anak saja tapi juga orang tua. Soal lokasi misalnya. Ibu saya punya keinginan diadakan di gedung tertentu. Ajaibnya, saya bisa mendapatkan gedung itu di H-3 bulan karena ada satu calon pengantin yang undur diri di satu tanggal. Maka tanpa pikir panjang saya ambil tanggal tersebut. Semua ini tentu karena Allah yang mudahkan.
Hanya butuh dua pertemuan sebelum akhirnya sampai di acara khitbah. Khitbah pun sederhana saja, pagi hari saat sedang shaum Ramadhan, tidak sampai dua jam, tanpa konsumsi (singkat bin hemat hihi).
Setelah melalui semua prosesnya, saya semakin percaya bahwa menikah itu memang perkara aqidah. Itu soal kapan Allah menakdirkan kita bertemu dengan penggenap separuh agama kita. Selain apa yang saya alami, saya juga banyak mendengar cerita soal ini dari para sahabat. Kalau tidak berjodoh, upaya apapun tak akan membuatnya jadi. Ada lagi kisah yang menanti cukup lama (meski awalnya tak berniat seperti itu), dan saya hampir berpikir mungkin bukan jodohnya, tapi ternyata pada akhirnya berjodoh.
Menyoal ini juga bisa jadi ujian. Ada yang diuji saat sudah merasa siap tapi tak kunjung diketemukan. Ada yang diuji saat merasa belum siap dan ingin menunda tapi kemudian Allah tunjukkan ‘inilah saatnya’.
Bagi saya menikah itu soal memenuhi panggilan Allah. Karena bagi seorang muslim menikah adalah salah satu ibadah skala besar, peluang yang lebih banyak untuk mendapat pahala dan kebaikan dalam rangka menggapai ridha-Nya, salah satu upaya untuk lebih menjaga diri.
Akhir kata, semoga pernikahan saya dan A Reza menjadi sarana bagi kami berdua agar kelak menjadi muslim yang lebih bertakwa. Aamiin yaa Rabb…
“And those who say, ‘Our Lord! Bestow on us from our spouses and our offspring the coolness of our eyes and make us leaders for the Muttaqun.” (Al-Furqan, 25: 74)